Jumat, 22 Juli 2016

Potret Sejarah keseharian masyarakat Batipuh tahun 1900’an

Malam  ini iseng-iseng saya searching di commons wikipedia mencari data tentang kata “batipuh”. Maka hasilnya adalah foto-foto dibawah ini. Foto-foto ini disimpan di salah satu museum online negeri Belanda.Ini adalah foto sebuah rangkiang yang biasa digunakan untuk menyimpan pada padi sesudah panen. Semua padi sehabis dijemur disinar matahari disimpan dirangkiang ini. Terus terang saya kurang yakin ini dinagari Batipuh bagian mana,apakah Batipuh Baruh atau Batipuh Ateh. Kalau kita lihat gambar beberapa orang dewasa ini dalam foto ini, kemungkin ini ada para Datuak. Para Datuak pada masa dahulu umumnya memiliki sawah yang banyak, sawah yang khusus diberikan oleh sukunya untuk digarap oleh Datuak untuk kehidupan dia dan keluarganya. Karena beras adalah komoditas yang sangat vital bagi masyarakat, maka harganya sangat tinggi pada waktu itu. Pada masa itu petani yang mempunyai lahan adalah orang-orang kaya. Keadaan seperti masih berlaku sampai akhir tahun 80’an dimana dengan adanya beberapa petak sawah dapat menjamin kelansungan hidup. Tapi keadaan sekarang tentu berbeda, sawah tidak dapat lagi diandalkan sebagai mata pencaharian utama. Sehingga anak muda lebih suka melanjutkan pendidikannya menjadi serorang profesonal atau terjun menjadi enterpreunur/pedagang.
Gambar dibawah ini berada dinagari Batipuh Ateh, Kemungkinan gambar ini diambil di Simpang Ampek ( Simpang Empat). Kalau kita lihat beberapa Bundo Kanduang ini menderita penyakit gondok. Hal ini disebabkan kurangnya Iodiom yang berasal dari garam laut. Bisa jadi Ibu-Ibu tempo dulu ini jarang menggunakan garam dapur karena harganya yang mahal. Harga mahal bisa jadi disebabkan karena Batipuh sendiri berada pada daerah pegunungan (daerah darek) yang jauh laut. Distribusi yang jauh menyebabkan harga garam yang mahal sehingga digunakan hanya oleh sebagian kalangan saja. Beberapa Ibu-ibu ini mengangkut goni yang isinya rumput. Rumput ini digunakan untuk memberi makanan ternak (biasanya kerbau) yang digunakan untuk membajak sawah.
Beberapa anak-anak tempo dulu, kemungkinan mereka semuanya satu keluarga dan berasal dari keluarga kaya, bisa jadi anak-anak  dari Datuk. Biasanya Datuk memiliki istri lebih dari satu, Datuk yang memiliki hanya satu istri mungkin Datuk yang miskin. Biasanya Datuk yang beristri satu ini memiliki harta kekayaan yang sedikit dan kurang berpengaruh dikaumnya.
Tempat dibawah ini saya juga kurang pasti dimana lokasinya, kemungkinan adalah di Balai Gadang. Karena dilokasi ini terdapat sebuah Balai (ruang pertemuan) yang didepannya terdapat sebuah lapangan. Di Balai Gadang ini dahulunya pada masa kerajaan Pagaruyung berdiam Tuanku Nan Gadang yang dikenal sebagai Harimau Batipuh,yang mempunyai kedudukan sebagai panglima militer kerajaan Pagaruyung. Daerah Batipuh ini beberapa kali menjadi tempat pertumpahan darah. Mulai dari perang Paderi dimana golongan Adat melawan golongan Agama. Pada waktu itu Batipuh menjadi basis golongan adat yang dipimpin oleh Datuk Pamuncak yang memberontak terhadap koleganya sendiri  pasukan Belanda tahun 1841. Kemudian pada zaman revolusi tahun 60’an wilayah ini terjadi pergesekan antara Masyumi dan Komunis yang menyebabkan terjadinya beberapa penculikan tokoh-tokoh Masyumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar